Sunday, April 24, 2016

Teruntuk: Titik-titik air yang berjatuhan,



"Ayo berkencan," ujarku menggamit lengannya di sela rintik hujan.
"Dalam rangka apa?" pertanyaannya tenggelam dalam gesa yang sekuat tenaga ia tahan.
Sia-sia saja, semestanya terlanjur dipenuhi bumbungan harapan.
"Tidak ada apa-apa. Ingin pergi saja," jawabku enggan.
.
Saat musim hujan, aku memang selalu rawan disergap angan.
Rentan dibekap lamunan.
Apalagi ketika angin dan tanah mulai berkomplot menguarkan aroma kenangan.
Sesak aku dirundungnya; amis dan memuakkan.
Berkelebatlah bayang-bayang yang entah sudah berapa lama aku berupaya lupakan.
Padahal aku merasa ragaku senantiasa dikelilingi keramaian.
Namun kau lagi-lagi hadir, lihai menyusupi segala kekosongan.
Benakku sesak akan satu pertanyaan:
Apakah ketika manusia merelakan, masa lalu lantas begitu saja menjelma udara yang perlahan melebur dalam terik mentari dan pendar rembulan?
.
Andai saja jarum jam butuh waktu sedikit lebih lama untuk bersinggungan.
Mungkin kita bisa memesan dua cangkir kopi lagi sembari menunggu malam melewati persimpangan jalan.
Mungkin aku bisa menambahkan gula, sementara kau bisa menambahkan pelukan.
Hingga bumi kembali melakukan satu rotasi penuh yang lagi dan lagi kita abaikan.
Aku memang acapkali luput memaknai sekeliling ketika kau hadir di saat bersamaan.
Bagaimana tidak, dulu ada label namamu sebagai bukti kepemilikan di tiap-tiap kemasan perasaan.
.
"Mau ke mana kita?" tanyanya buyarkan lamunan.
"Terserah," tidak ada satupun selain dirimu yang layak kusebut tujuan.
"Bagaimana kalau kedai kopi di ujung jalan? Kudengar kepulan uapnya saja dapat begitu menenangkan," ujarnya mengusulkan.
Aku meringis, sialan.
Lagi-lagi luka fanaku ini penuh tetesan nanah menjijikan.
Tak ada obat dan perban yang mempan.
Kambuh tak kambuh toh pedihnya sama memilukan.

No comments:

Post a Comment