Monday, June 25, 2018

My Master Degree Application Tips – Mendaftar Kuliah dan Mendapatkan Unconditional Letter of Acceptance (LoA) dari Kampus Luar Negeri

Hi!
So as you guys know, lately I’ve been posting the acceptance letters regarding to my master degree application on the instastory of my instagram account. I received and am humbled by so many kind wishes from my friends and relatives about my future plans. Aside from that, my inbox also has been  flooded with several questions asking about my preparation. I really want to answer every one with explanations as comprehensive as possible, so I decided to make a blogpost about it instead. Well, I ended up pouring everything I had in mind and writing a 3000-word blogspot... Haha, but really, I hope this sound more like the informative and useful tips that I first aimed for and less like a boring and nonsense rambling.

First of all, to make things clear, I’ve secured unconditional LoAs from three different universities, which are University of Leeds (MA International Communication), University of Sussex (MA Media Practice for Development and Social Change), and Newcastle University (MA Cross-Cultural Communication and Media Studies). But I’m not leaving soon, because I haven’t applied for any scholarship for this year’s term of study. Jadi InsyaAllah paling cepat bisa berangkat di term September 2019 kalau beasiswanya nanti bisa lolos. Kalau berkenan, doakan bisa lolos beasiswanya juga, ya, biar nanti bisa bagi-bagi tipsnya lagi, hehe.

Dari kemarin banyak yang nanya, apa acceptance letter-nya nggak expired—kok udah daftar sekarang padahal baru mau kuliah tahun depan. Nggak perlu khawatir, kalau kamu udah dapat unconditional LoA untuk term 2018, misalnya, kamu bisa menunda masuk kuliahmu dan minta diundur untuk term berikutnya, kok. Biasanya di surat pemberitahuan atau aplikasi pendaftarannya, kamu akan diberi pilihan apakah kamu mau accept the offer (masuk kuliah di term tersebut), decline the offer (nggak jadi kuliah di sana), atau request for deferral (masuk kuliah di term selanjutnya). Maka dari itu, enaknya udah daftar (dan diterima) di kampus duluan adalah, acceptance letter-nya bisa berlaku buat dua tahun.

Kalau ditanya mana yang lebih penting, daftar sekolahnya dulu atau beasiswanya dulu, aku dengan tegas akan jawab: daftar sekolahnya dulu. Memang ada juga yang ngurus keduanya bersamaan atau malah sebaliknya, dan terbukti mereka sukses dengan cara itu, and that’s completely okay, tiap orang bebas menentukan, kok. Tapi kalau aku pribadi, aku berprinsip bahwa harus ada target berupa kampus dan jurusan tujuan terlebih dahulu. Harus berusaha buat ngedapetin unconditional LoA-nya dulu, baru setelah itu mikirin funding-nya. Jadi bagiku bukan “yang penting bisa kuliah di luar negeri”, tapi ya harus bener-bener tahu, luar negerinya itu di mana dan emang bagus apa enggak. Besides, I think there is more likely a bigger chance to be granted the scholarship when you are applying after you have already secured an unconditional LoA from the university.

Sedikit cerita dulu, ya. Secara garis besar, timeline-ku adalah untuk memulai kuliah S2 setelah dua tahun lulus S1. Dalam dua tahun tersebut aku mau bekerja dulu—mendalami passion, memperluas jaringan, dan mencari pengalaman. Aku lulus S1 bulan Juni 2017, dan langsung mulai kerja di bulan yang sama. Kemudian aku ikut preparation class untuk tes IELTS di bulan Oktober sampai Desember 2017, sedangkan tes IELTS-nya di bulan Februari 2018. Aku bikin outline personal statement mulai Maret 2018, dan baru bener-bener jadi sebulan setelahnya. Terus di waktu yang bersamaan juga udah ngehubungin pihak-pihak yang akan membuatkanku recommendation letters. Semua persyaratan selesai kupersiapkan di akhir April 2018. Langsung bikin akun di situs resmi masing-masing kampus, dan submit aplikasi pendaftaran. Alhamdulillah, Newcastle University memberikan hasil berupa unconditional LoA padA 17 Mei 2018, kemudian disusul dengan unconditional LoA dari University of Leeds pada keesokan harinya, dan unconditional LoA dari University of Sussex pada 4 Juni 2018.

Jadi, blogpost kali ini akan membahas tentang persiapan yang setahun belakangan ini kulakukan dalam membuat aplikasi pendaftaran master degree. Walaupun kelihatannya simpel, it actually takes a lot of time and consideration. Kalau kamu baru mau memulai, penting banget untuk bikin timeline selama setahun atau dua tahun ke depan. You don’t need to rush everything, but you must have deadlines for everything. Hal-hal yang kupersiapkan sudah ku-breakdown menjadi lima poin utama di bawah ininot necessarily in this order, because as I explained before, I prepared everything simultaneously:
Tentukan kampus tujuan.
Siapkan hasil scan dari dokumen-dokumen yang diperlukan.
Tentukan target nilai English Proficiency Test.
Siapkan personal statement/motivation letter.
Siapkan reference letters.

Oke, kubahas satu persatu, ya!

Tentukan kampus tujuan.
Some of you might roll your eyes real hard to this first tips, but this one honestly took me a very great deal of time to decide on. Tips yang pertama ini penting kalau kamu belum ada gambaran sama sekali tentang mau kuliah di mana, atau udah punya beberapa calon tapi bingung gimana milihnya. Aku sejak dulu selalu ingin kuliah di Inggris, tapi belum pernah betul-betul tahu kampus mana yang mau kutuju. Personally, caraku menentukan kampus tujuan adalah dengan membuat beberapa lists. List yang pertama isinya adalah semua kampus di Inggris yang punya jurusan yang kumau, yaitu seputar komunikasi dan media. Aku simply googling ”communication schools in UK” dan banyak kebantu juga sama situs hotcourses.com dan thecompleteuniversityguide.co.uk. Di tahap ini, dulu aku nggak mikirin requirements atau apapun—I just put everything down my list! I ended up having 34 universities on my list, dan bahkan masing-masing universitasnya pun punya lebih dari satu jurusan di bidang komunikasi dan media.

Selanjutnya, baru deh list tersebut aku kurasi. Caranya adalah dengan buka situs resmi masing-masing universitas. Sepengetahuanku, situs resmi mereka selalu punya informasi yang lengkap banget—mulai dari tentang modul kuliahnya, overall facilities-nya, sampai city life pun ada. Dari 34 universitas itu, aku berhasil kurasi jadi 10 universitas. Sebenarnya what to filters out ini juga personal banget. Misalnya, aku nggak pengen kuliah di London, because I want to experience the countryside of England instead of its buzzling metropolitan life. Jadi kampus-kampus yang lokasinya di London otomatis out of the list. Kemudian, aku pengen kuliah di kampus yang legendaris, kalau di UK istilahnya redbrick universities—yaitu universitas-universitas yang didirikan di abad ke-19 dengan bangunan original yang masih beroperasi sampai sekarang. Terus kalau di Inggris, ada yang namanya The Russell Group, yang isinya adalah universitas-universitas ternama di UK dengan world-leading research excellence. The filters are totally up to you!

Next, you might as well want to check out the universities’ rankings, biasanya yang paling prestisius adalah QS World University Rankings yang list-nya selalu diperbaharui tiap tahunnya. Tapi jangan terlalu terpaku dengan itu, karena itu adalah ranking universitas secara keseluruhan. Contohnya, if we’re talking about UK, pasti yang paling terkenal adalah University of Oxford atau University of Cambridge. Aku nggak keterima di dua-duanya. Kenapa? Karena aku nggak daftar di dua-duanya. Kenapa? Simply karena kedua kampus itu nggak punya jurusan komunikasi! Haha. Paham ya maksudku untuk nggak terlalu jadiin ranking universitas sebagai patokan. Instead, kamu juga harus cari tahu, gimana ranking jurusan atau fakultas yang mau kamu tuju. Misal, universitas A memang ranking 1, tapi di jurusan X akreditasinya dapet B. Sedangkan universitas B peringkatnya di bawah universitas A, tapi jurusan X yang kamu tuju akreditasinya malah dapet A. This is an important thing to consider before you decide which one is better.

Selanjutnya, ini menurutku cukup penting dan harus diperhatikan. Ketika kamu buka situs resmi universitasnya, pastikan kamu cek jurusan tujuanmu berada di departemen atau fakultas apa. Misalnya, ada kampus yang jurusan komunikasi-nya termasuk dalam School of Arts and Cultures, tapi ada juga yang termasuk dalam School of Media and Communication, dan ada juga yang termasuk dalam School of Sociology and Social Policy. Walaupun jurusannya mungkin punya nama yang sama, tapi approach dalam pembelajaran dan modul-modulnya akan berbeda—tergantung dengan fakultas apa yang membawahinya. Kedua, penting juga untuk benar-benar memahami jurusan seperti apa yang mau kamu tuju. Misalnya, apakah kamu ingin belajar tentang media in general? Atau media sebagai industri? Atau hanya tentang journalism-nya? Apakah kamu mau belajar film untuk membuat film atau untuk mengkritik film? Di satu universitas saja, aku pernah menemukan ada jurusan Print Journalism, Online Journalism, War Journalism, International Journalism, dan Feature Journalism. Semuanya sama-sama jurnalisme, tapi tentu penekanannya sepenuhnya berbeda. Kurasa yang banyak seperti ini adalah jurusan-jurusan di ilmu sosial, sih. Jadi, dengan adanya pilihan yang demikian beragam, pastikan kamu memilih yang paling sesuai dengan kemauan dan kemampuanmu, ya!

Dengan filter-filter ini, aku berhasil punya 10 universitas tujuan di list-ku. Selanjutnya, yang kulakukan adalah membandingkan modul pembelajaran satu sama lain—both the compulsory and optional ones. Mana yang menawarkan lebih banyak opsi? Mana, misalnya, yang memberikan kesempatan untuk field trip atau internship? Modul inilah yang akan kamu pelajari nantinya, so you might as well choose it wisely based on both what you like to learn and what’s important to learn. Selain itu, menurutku juga penting untuk cari tahu lebih dalam tentang city life-nya, karena nantinya kamu akan tinggal di sana (amen to that!). Do you prefer to live near the mountain or the beach? Are you a city-person? Are there enough of vegan restaurants? Is it moslem-friendly? Is the night life lively? Ini penting banget buat jadi pertimbangan. You’re not gonna spend your entire day in the university buildings only, are you? Gampang kok, tinggal cari aja di youtube “life in (the city)”. Enaknya kalau youtube, kamu bisa langsung nonton videonya, nggak perlu susah-susah bayangin. Bisa juga dengan mengikuti akun-akun resmi kampus dan kota tujuanmu di media sosial. Selain itu, aku juga mengikuti akun PPI yang ada di kota tersebut, supaya dapet pandangan tentang gimana sih keseharian pelajar dari Indonesia di sana. Lately aku juga sering cari info dengan cara googling “top things to do in (the city)”, atau “free things to do in (the city)” yang kebanyakan nge-highlight main attractions dari kota itu. Kalau sejak awal kamu sudah punya satu universitas tujuan, it’s safe to directly jump into this very last filter, just to make sure that the city and its people will not disappoint you.

Dengan segala filter ini, akhirnya list-ku jadi tinggal tiga universitas, deh! Di tiga universitas inilah aku mendaftar. Alhamdulillah kalau di Inggris mayoritas universitas nggak mematok admission fee, alias bisa daftar secara gratis. Caranya juga gampang banget, tinggal bikin akun di situs resminya dan mengunggah semua persyaratan di sana. Progress dari aplikasi dan pengumuman hasilnya juga akan diinfokan di akun dan via e-mail. Secara umum, yang perlu dipersiapkan adalah: informasi personal berupa data diri, berkas-berkas pendukung, personal statement/motivation letter, sertifikat English Proficiency Test, dan reference letters. Aku bahas satu persatu, ya!

Siapkan hasil scan dari dokumen-dokumen yang diperlukan.
Mulai dari yang paling gampang dulu, hehe. Yang paling utama tentu paspor sebagai identitas kita. Kemudian, ijazah dan transkrip nilai. Ingat, semua dokumen harus di-translate dulu ke bahasa Inggris. Untungnya universitas asalku menyediakan jasa translate ijazah dan transkrip, jadi aku bisa langsung mengurus di bagian akademik fakultas dan universitas secara gratis. Kalau universitas asalmu tidak menyediakan ini, kamu bisa pakai jasa dari lembaga penerjemah tersumpah dan tersertifikasi di kotamu. Harus sworn and certified, ya, supaya bisa resmi digunakan untuk keperluan mendaftar kuliah di luar negeri.

Tips dariku, jangan buru-buru buat translate sertifikat-sertifikat kamu yang lainnya, seperti sertifikat juara lomba, magang, dan lain-lain. Dulu aku sempat sok ide kepikiran untuk translate semuanya biar bisa kelihatan berprestasi dan lebih punya kesempatan untuk diterima. Kalau ditotal hampir habis satu juta untuk translate, tapi terus aku cek lagi di situs resmi kampus yang kutuju dan nggak ada kata-kata yang mengharuskan aku untuk upload semua sertifikat yang kupunya. Yang diwajibkan cuma ijazah dan transkrip nilai, that’s all. Aku akhirnya memutuskan buat nggak jadi nge-translate sertifikat-sertifikatku yang lainnya. To go for extra miles is good, but you need to be wise about it. Aku akhirnya dapat tiga unconditional LoA tanpa menyertakan sertifikat apapun di aplikasiku. Toh kalaupun universitas tersebut nantinya mempertimbangkanmu sebagai calon mahasiswa, tapi masih butuh bukti atas prestasi-prestasi yang kamu klaim, mereka akan tetap memberikan conditional LoA, kok. Kamu akan diberi waktu untuk melengkapi persyaratan yang diminta dan dianggap kurang.

Tentukan target nilai English Proficiency Test.
Sebenernya ada banyak jenis dan pilihannya, ya, untuk English Proficiency Test ini, seperti TOEFL, TOEIC, PTE, atau IELTS. Karena kampus-kampus yang kutuju berada di Inggris, aku memilih buat ambil tes IELTS. Lagi-lagi, kamu bisa cek di situs resmi universitas tujuanmu buat cari tahu berapa skor minimal yang mereka minta. Tiap kampus punya standar yang berbeda-beda, ada yang pokoknya minimal overall score 6.5, tapi ada juga yang overall score-nya cuma minta minimal 6 tapi writing section-nya harus minimal 7. Jadi harus dicek satu-satu, ya, supaya kamu bisa menentukan target nilai yang harus kamu raih nantinya.

Nah, sekarang aku mau ngomongin tentang persiapannya, karena menurutku persiapan adalah yang paling penting dari tes ini. The test is quite costly—aku tes IELTS di Februari 2018 dan dapat harga 2.850.000. Pastinya sayang banget, dong, kalau udah keluar uang segini banyak, terus skornya ternyata nggak mencukupi buat daftar di universitas yang kita tuju? Karena itulah aku bilang persiapan adalah yang terpenting.  Pilihannya ada dua, antara kamu mau self-study, atau mau ikut preparation class di lembaga pendidikan yang menyediakan tes tersebut.

Aku personally memilih untuk ikut preparation class dengan dua pertimbangan, yaitu structure dan consistency. Aku sebelumnya belum pernah tes IELTS dan bener-bener nggak tahu model soal-soalnya sama sekali. Di internet memang sudah ada banyak sekali panduan untuk self-study, tapi aku sadar bahwa kalau aku memaksa untuk belajar sendiri, I will tend to jump into every module and finishing them without having the basic premises and introductions. Padahal kalau ikut preparation class, tentu akan ada native teacher yang menjelaskan secara runtut dan berimbang tentang masing-masing section—listening, reading, writing, dan speaking. Keruntutan dan struktur belajar inilah yang kucari. Di samping itu, kalau self-study, aku juga nggak punya partner belajar yang bisa mengkoreksi kesalahanku. What’s the point of studying when you have no idea whether you do things right or wrong, then? Beda dengan ikut preparation class yang pasti selalu dikasih assessment tiap selesai kelas.

Kedua, konsistensi. I work every weekday from 10 to 5 and I sometimes also have events to attend on weekend, so studying on my own would most likely mean procrastinating to study because I’m either too tired or too lazy, hehe. Sedangkan kalau ikut preparation class, tentu sudah ada jadwalnya. Waktu itu aku ambil kelas yang seminggu tiga kali, dua jam per pertemuan selama dua bulan. Harganya 3.950.000. Karena mahal, jadinya nggak rela dong kalau mau bolos! Selain itu, tiap pertemuan pasti sudah ada jadwalnya, modul apa yang akan dibahas. Jadi kita akan belajar semua section tanpa terkecuali, dengan porsi yang seimbang. Tiap dua minggu sekali pun ada tes buat mengukur perkembangan kemampuan kita. Dengan ikut preparation class pun aku jadi yakin, kalau aku bisa dapat nilai IELTS sesuai yang kutargetkan. And I did, my score is even higher than what I predicted. In my case, to spend more is to invest more.
Do you think I need to make a separate blogpost and write about the tips to achieve your targeted IELTS test score? If so, let me know in the comment section!

Siapkan personal statement/motivation letter.
Yang satu ini aku ngerjainnya butuh waktu lebih dari sebulan, padahal hasil akhirnya cuma 800 kata. Memang nggak ada batasan yang pasti, sih, harus berapa kata. Tapi menurutku 800 kata is sufficient enough, jadi kalau bisa jangan lebih dari dua halaman, tapi juga jangan kurang dari satu halaman. Kalau kamu mau tahu apa yang perlu ditulis di personal statement, ada banyak situs di luar sana yang bahas secara komprehensif. Bahkan mayoritas situs resmi universitas pun punya guide-nya masing-masing terkait hal ini.

Secara garis besar, struktur personal statement-ku terdiri dari tiga main ideas, yaitu self-introduction, perjalanan hidup, pencapaian, dan rintangan sejauh ini, serta rencana hidup ke depannya—yang tentunya memuat tentang kenapa penting bagiku untuk studi S2 serta kenapa harus di universitas dan jurusan yang kutuju. The real deal is, of course, how do I write about myself? Well, seriously though, it can be pretty difficult to describe about yourself in a positive way when there are billions of people out there making outstanding achievements everyday. Tapi justru itulah poinnya; bahwa semua orang punya kelebihan dan pencapaiannya masing-masing—dan itu yang harus kamu garisbawahi.

Menurutku, yang menjadi kunci dalam personal statement adalah cause, impact dan consistency. Apa cause yang menjadi passion-mu dan kamu perjuangkan—is it social, economical, educational, cultural, or what? Cause inilah yang jadi benang merah hidupmu—kenapa dulu kamu ambil jurusan itu ketika S1, kenapa sekarang ingin ambil jurusan ini untuk S2, kenapa kamu bekerja di sektor tertentu, basically why you are doing what you are doing right now. Kemudian, dengan cause tersebut, apa impact yang sudah kamu berikan untuk lingkungan dan orang-orang di sekitarmu? Nggak perlu harus jadi volunter tiap tahun atau aktif berorganisasi sana-sini, sering bikin tulisan tentang isu-isu sosial yang lagi happening juga termasuk kontribusi, kok. Yang terpenting bukan skalanya, tapi apa hal nyata dan tangible yang sudah benar-benar kamu lakukan. Write it in a positive tone, make it sound as if you believe in yourself and are proud of it. Last but not least, dengan cause yang kamu perjuangkan dan impact yang kamu coba untuk berikan, apakah kamu sudah cukup konsisten dalam melakukannya? Dalam personal statement-ku, ketiga hal ini kutunjukkan melalui penjelasan runtut mulai aku SMA, kuliah, lulus, bekerja, dan kini ingin lanjut studi S2. Karena aku mendaftar di tiga universitas dan tiga jurusan yang berbeda, tentu harus ada beberapa bagian yang aku personalized supaya sesuai. Penjelasan tentang kenapa penting bagiku untuk studi S2 ini aku tempatkan di paragraf terakhir dan wording-nya aku ubah-ubah sesuai universitas dan jurusan yang kutuju.
Do you think you need a copy of my personal statement as a guide to make yours? If so, let me know in the comment section!

Siapkan reference letters.
Umumnya, universitas akan meminta dua surat rekomendasi dari tokoh-tokoh yang pernah menempati posisi di atasmu, baik dari segi akademis, pekerjaan, organisasi, dan lain-lain. Pada intinya, reference letter adalah cara universitas mengetahui tentang kepribadian dan kompetensimu melalui pengalaman dan pendapat orang lain yang sudah pernah bekerjasama denganmu. Karenanya, reference letter tentu harus ditulis dengan nada yang positif. Menurutku, yang bisa kamu maksimalkan dalam reference letters adalah keberagaman informasi.

Jika memungkinkan, usahakan dua reference letters ini diberikan oleh dua orang yang mengenalmu dalam kapasitas yang berbeda. Misalnya, surat rekomendasiku diberikan oleh mbak Nisa, dosenku saat menempuh jenjang sarjana dan mbak Ian, editor in chief-ku di kantor. Both of them are my best friends and I wouldn’t be who I am today without their generosity. Dengan begitu, reference letter dari mbak Nisa lebih menekankan tentang kemampuanku dalam proses pembelajaran dan pencapaianku di luar kelas, sedangkan reference letter dari mbak Ian lebih menekankan tentang kemampuanku beradaptasi di industri media, inisiatifku dalam mengembangkan potensi produk, serta hubungan interpersonalku dengan karyawan, konsumen, dan klien. Menurutku, akan sia-sia bila dua reference letters yang berbeda memuat informasi yang sepenuhnya sama. Kalaupun keduanya sama-sama dosenmu, misalnya, pastikan informasi yang diberikan oleh keduanya berbeda. Mungkin salah satunya lebih menekankan tentang kemampuanmu berorganisasi atau berkompetisi, sedangkan yang satunya lebih membahas tentang pencapaian akademik, you choose, but make the content as diverse as possible!

Tips dariku dalam pembuatan reference letter, nggak perlu repot-repot minta surat rekomendasi ke profesor, dekan, apalagi rektor, bila mereka memang tidak mengenalmu secara personal. Yang terpenting dari surat rekomendasi adalah the depth of the information, not the title of the informant. At the end of the day, surat rekomendasi ini toh akan membahas tentang dirimu, bukan tentang diri si pemberi rekomendasi. Jadi, pastikan kamu mendapatkan surat rekomendasi dari pihak yang sungguh-sungguh sudah mengenalmu. Kemudian, ajak mereka untuk berdiskusi mengenai kompetensi dan potensi apa dalam dirimu yang penting untuk disampaikan. Break it down into qualities such as motivation, initiative, time-management, communication skills, organizational skills, problem-solving, conceptual ability, commitment, and so on. Nah, dari poin-poin tersebut, kamu bisa mulai membuat reference letter-mu dan pihak pemberi rekomendasi bisa merevisi sebanyak beberapa kali sebelum pada akhirnya reference letter tersebut diberi kop surat resmi, distempel, dan ditandatangani.
Do you think you need a copy of my recommendation letters as a guide to make yours? If so, let me know in the comment section!

Nah, itu tadi beberapa tips dari pengalaman pribadiku tentang persiapan-persiapan yang setahun belakangan ini kulakukan dalam membuat aplikasi pendaftaran master degree. I think that’s all from me. Have you made your application yet? How far is your progress with it? Are you struggling with something regarding to the requirements? Let me know and I will be glad to do whatever I can in my capacity to help you!