Sunday, September 20, 2015

Your heart’s rusted metal padlock; my wooden palms went rotten by stubbornly slammed your surface back and forth.



You say that soon we’ll decay when I ask you may I stay
That there’s no point of living the days when the world consists of nothing but spectrums of grey
But I adore your withered veins
And I admire your shattered remains
I want to wipe away your past; your insecurities and fears and pain
You chuckled and told me that I’m insane
With clenched fist you held your breath when we kissed
I closed my lids and flexed my lips;
Grateful for the things we cannot undid

Tuesday, May 26, 2015

Tentang Fajar, Senja, serta Momen-Momen Sebelumnya dan Sesudahnya yang Tak Butuh Nama

Kesatuan sarafku pernah membumbung oleh gelora bangga dan senang tenteram. Sang surya yang sesungguhnya membara oleh gemerlap kemerahannya terasa sejuk laksana senja yang lenyap menuju peraduan. Namun nyatanya tetesan embun fajar yang sepatutnya menyegarkan pun terasa kaku menyengsarakan. Serbu cucuran hujan pecah menghujam layaknya jarum tajam yang haus darah dan sedu sedan. Tak nampak apa-apa memang, hanya basah yang meresap menghantam. Namun bahkan rerumputan becek pun paham bahwa sang empunya langkah sedang kaku dalam luka dan kuyup oleh muram. Dapatkah permukaan seseorang tetap tampak tenang padahal perasaannya sungguh sangatlah dalam?

Hembusan napasku pernah melayang menyatu dengan atmosfer yang menudung angkasa. Alam semesta kekal dan semarak menyapaku dalam megah spektrum warnanya. Namun apa yang tertangkap selaput jala mata sekarang hanya abu-abu kusam menjemukan. Abu-abu muda, abu-abu tua, ah, semua sama saja. Seluruhnya terserak dalam kosong dan berlalu berhamburan entah kemana. Belum sempat aku terpana, yang nyata dalam sekejap lenyap berubah fana. Wajarkah seorang menutup pandangannya akan apa yang kentara dan teguh berharap pada apa yang tak ada?

Cetak kedua langkahku pernah sangat dalam menjejak menutup jarak yang mengganggu. Sama halnya dengan jarum jam yang berkelok lewat pergelangan tanganku, akal dan angan yang bercokol dalam benakmu juga lebur saat pandangmu dan pandangku beradu. Waktu menelan dan tertelan oleh satuannya yang tak kunjung berlabuh. Namun sekarang aku lenyap terdesak perangkap ruang hampa sesak yang dungu dan jemu. Jangankan menemukan jalan menujumu, menyesap udara pun aku tak mampu. Sanggupkah seseorang terus menerus menunggu bayang semu, padahal waktu tanpa ampun berpacu

Layaknya pesona cakrawala, kontur wajahmu pernah sungguh melengkung, padahal kau bahkan tak punya lesung. Aku sempat larut dalam pusaran gelombang aksaramu yang tak tanggung-tanggung. Dalam sosokmu segala keelokan yang kudamba terpasung. Namun sekarang dalam benakku seorang aku lenyap terkungkung. Dalam seduku seorang aku terkurung. Dalam senyapku seorang aku murung. Kelak, saat kau datang, maukah kau ajak aku melambung?Sungguh, aku berada dalam ambang asa. Kumohon, sapa aku dengan pertanda. Aku perlu tahu bahwa kau tak beranjak kemana-mana. Aku perlu percaya bahwa segalanya tetap bermakna.


[A 350-words story without the letter 'i' for Creative Writing project I've got in college. This is totally fun and challenging; you should try to write one too!]

Sunday, April 19, 2015

For the love of punctuation

.

Aku mencintaimu seperti tanda titik
Layaknya ketergesaan yang dikesampingkan
Keegoisan yang sedari awal dibungkam oleh kasih yang diam dan dalam
Ketulusan, kesabaran, dan kehati-hatian yang senantiasa menanti di tiap-tiap sudut ruangan
Di ujung jalan
Di akhir pemberhentian


,

Aku mencintaimu seperti tanda koma
Layaknya rincian singkat yang menjadikan eksistensimu benderang
Berikanmu jarak seluas satu helaan napas tanpa kekangan
Berdua kita mereka-reka kelangsungan dan keberlanjutan
Melangkah beriringan
Menapak bersisian
Bersama dalam kesetaraan


?

Aku mencintaimu seperti tanda tanya
Layaknya kuasaku yang tiada daya akan hari esok dan masa depan
Akan keaadaan dan ketiadaan yang selalu hadir dalam tiap kedipan
Akan bayang teka-teki kehidupan yang seringkali jadi kambing hitam
Namun dalam pekat, dalam gelap, dalam ketidakpastian,
Tanpa henti kau senantiasa kuperjuangkan


!

Aku mencintaimu seperti tanda seru
Layaknya nyata kesungguhan yang seharusnya diungkapkan
Aku kuat dan dapat kau andalkan
Aku kokoh dan dapat kau jadikan sandaran
Pusaran ombak emosi yang tanpa pikir panjang akan mendobrak segala karang penghalang
Segala konsistensi dan keteguhan
Akan dirimu seorang


Aku mencintaimu seperti tanda baca
Tak pernah sekalipun terpikir olehku untuk mengubah spektrum warnamu
Nyata eksistensiku untuk selipkan nada-nada baru dalam kemasan harimu
Orang-orang mungkin membaca dan mengira mereka memahami kisahku dan kisahmu
Namun apa yang mereka genggap hanyalah abstraksi konsep semu
Termanifestasi dalam simbol, kita abadi dalam ruang dan waktu