Tuesday, May 26, 2015

Tentang Fajar, Senja, serta Momen-Momen Sebelumnya dan Sesudahnya yang Tak Butuh Nama

Kesatuan sarafku pernah membumbung oleh gelora bangga dan senang tenteram. Sang surya yang sesungguhnya membara oleh gemerlap kemerahannya terasa sejuk laksana senja yang lenyap menuju peraduan. Namun nyatanya tetesan embun fajar yang sepatutnya menyegarkan pun terasa kaku menyengsarakan. Serbu cucuran hujan pecah menghujam layaknya jarum tajam yang haus darah dan sedu sedan. Tak nampak apa-apa memang, hanya basah yang meresap menghantam. Namun bahkan rerumputan becek pun paham bahwa sang empunya langkah sedang kaku dalam luka dan kuyup oleh muram. Dapatkah permukaan seseorang tetap tampak tenang padahal perasaannya sungguh sangatlah dalam?

Hembusan napasku pernah melayang menyatu dengan atmosfer yang menudung angkasa. Alam semesta kekal dan semarak menyapaku dalam megah spektrum warnanya. Namun apa yang tertangkap selaput jala mata sekarang hanya abu-abu kusam menjemukan. Abu-abu muda, abu-abu tua, ah, semua sama saja. Seluruhnya terserak dalam kosong dan berlalu berhamburan entah kemana. Belum sempat aku terpana, yang nyata dalam sekejap lenyap berubah fana. Wajarkah seorang menutup pandangannya akan apa yang kentara dan teguh berharap pada apa yang tak ada?

Cetak kedua langkahku pernah sangat dalam menjejak menutup jarak yang mengganggu. Sama halnya dengan jarum jam yang berkelok lewat pergelangan tanganku, akal dan angan yang bercokol dalam benakmu juga lebur saat pandangmu dan pandangku beradu. Waktu menelan dan tertelan oleh satuannya yang tak kunjung berlabuh. Namun sekarang aku lenyap terdesak perangkap ruang hampa sesak yang dungu dan jemu. Jangankan menemukan jalan menujumu, menyesap udara pun aku tak mampu. Sanggupkah seseorang terus menerus menunggu bayang semu, padahal waktu tanpa ampun berpacu

Layaknya pesona cakrawala, kontur wajahmu pernah sungguh melengkung, padahal kau bahkan tak punya lesung. Aku sempat larut dalam pusaran gelombang aksaramu yang tak tanggung-tanggung. Dalam sosokmu segala keelokan yang kudamba terpasung. Namun sekarang dalam benakku seorang aku lenyap terkungkung. Dalam seduku seorang aku terkurung. Dalam senyapku seorang aku murung. Kelak, saat kau datang, maukah kau ajak aku melambung?Sungguh, aku berada dalam ambang asa. Kumohon, sapa aku dengan pertanda. Aku perlu tahu bahwa kau tak beranjak kemana-mana. Aku perlu percaya bahwa segalanya tetap bermakna.


[A 350-words story without the letter 'i' for Creative Writing project I've got in college. This is totally fun and challenging; you should try to write one too!]